Jakarta, 10 Oktober 2025 — Ancaman pornografi dan eksploitasi seksual anak daring (Child Sexual Exploitation/CSE) di Indonesia telah mencapai titik kritis. Laporan terbaru menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan jutaan kasus CSE. Menanggapi situasi ini, Polri, bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), meningkatkan penindakan hukum dan pembersihan ruang digital secara masif.
Penindakan hukum terhadap kasus pornografi, terutama yang melibatkan anak, meningkat drastis. Hingga pertengahan Mei 2025, Polri mencatat penindakan terhadap ratusan kasus pornografi, dengan melibatkan ratusan orang terlapor dan ratusan korban.
Modus Jaringan dan Penindakan Tegas
Polri, melalui Bareskrim dan unit siber di Polda-Polda daerah, terus membongkar jaringan penyebar konten asusila, yang sebagian besar beroperasi melalui platform media sosial.
Pada Mei 2025, Bareskrim Polri berhasil mengungkap grup Facebook yang secara aktif menyebarkan pornografi anak. Hasilnya, enam tersangka ditangkap di berbagai wilayah, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Bengkulu, dan Lampung. Salah satu tersangka yang ditangkap merupakan admin sekaligus pembuat grup tersebut.
Di pengadilan, pelaku terbukti bersalah dijerat dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui. Ancaman hukuman bagi pembuat dan penyebar pornografi sangat berat, mencapai 12 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.
Misalnya, putusan pengadilan sepanjang 2025 menunjukkan sanksi yang bervariasi bagi pelaku yang terbukti membuat atau menyebarkan pornografi, mulai dari hukuman penjara 1 hingga 4 tahun, serta denda finansial yang signifikan.
Strategi Pemerintah: Bersihkan 1,3 Juta Konten Negatif
Kementerian Komdigi mengambil peran sentral dalam memblokir akses terhadap konten terlarang. Dalam periode akhir 2024 hingga awal Maret 2025, Komdigi melaporkan telah menangani lebih dari 1,3 juta konten negatif, termasuk pornografi dan judi online.
Komdigi juga meningkatkan pengawasan terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), di mana platform media sosial dan user-generated content lainnya diminta untuk lebih proaktif menghapus konten yang meresahkan.
Dalam menghadapi ancaman pornografi anak, Kemenkomdigi juga mengeluarkan regulasi baru seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 yang berfokus pada Tata Kelola Perlindungan Anak di Ruang Digital. Regulasi ini mewajibkan platform digital untuk menilai tingkat risiko produk dan layanan mereka terhadap anak, serta menerapkan mekanisme persetujuan orang tua sebelum anak dapat menggunakan layanan dengan risiko tinggi.
Peran KPAI dan Perlindungan Korban
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak para orang tua untuk meningkatkan literasi digital dan berperan aktif mengawasi kegiatan daring anak-anak mereka, karena media sosial terbukti menjadi media utama penyebaran konten asusila.
Pemerintah Provinsi juga telah memberikan respons cepat dalam penanganan korban. Seperti yang dilakukan di Sumatera Selatan, Pemprov melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) memberikan pendampingan dan bantuan psikolog untuk membantu korban melupakan trauma yang dialami.
“Perlindungan anak di ruang digital adalah investasi bagi masa depan bangsa,” ujar perwakilan Komdigi, menekankan perlunya kolaborasi kuat antara kementerian, lembaga penegak hukum, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem digital yang aman.