Tangerang, 9 Oktober 2025 — Aparat kepolisian Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) berhasil membongkar sindikat besar Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan puluhan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ilegal. Sebanyak 39 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, dengan total korban dicegah mencapai 430 orang dalam kurun empat bulan terakhir.
Jaringan Internasional dan Modus Upah Fantastis
Pengungkapan kasus ini menyoroti modus operandi jaringan internasional yang semakin rapi dan menggiurkan.
- Iming-Iming Gaji: Para korban diiming-imingi gaji fantastis, mencapai Rp30 juta per bulan, terutama untuk tujuan negara-negara di Timur Tengah (seperti Arab Saudi) dan Asia Tenggara (seperti Malaysia), bahkan Eropa. Kenyataannya, pekerjaan yang dijanjikan—mulai dari asisten rumah tangga hingga buruh perkebunan—jauh dari kata layak dan cenderung bersifat eksploitatif.
- Keterlibatan WNA: Sindikat ini terbukti melibatkan Warga Negara Asing (WNA), termasuk seorang yang berasal dari Lebanon. Keterlibatan pihak luar negeri menunjukkan betapa terorganisirnya kejahatan transnasional ini.
- Keuntungan Pelaku: Setiap kali berhasil memberangkatkan satu korban secara ilegal, tersangka sindikat TPPO ini meraup keuntungan hingga Rp7 juta.
Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Pol Ronald FC Sipayung, menegaskan bahwa motif utama para pelaku adalah ekonomi murni. Pihak kepolisian saat ini masih memburu 24 Daftar Pencarian Orang (DPO) lainnya yang diduga terlibat dalam jaringan ini, termasuk WNA Lebanon tersebut.
Imigrasi Aktif Gagalkan Keberangkatan
Selain kepolisian, Direktorat Jenderal Imigrasi juga menunjukkan peran krusial dalam upaya pencegahan TPPO.
- 1.524 Korban Dicegah: Sepanjang tahun 2025, Imigrasi mencatat telah menggagalkan keberangkatan 1.524 calon korban TPPO.
- Modus Penyamaran: Para pelaku sindikat kerap mengarahkan korban agar berpenampilan seperti turis atau penumpang biasa, dan mengaku hendak berlibur saat pemeriksaan di pintu Imigrasi. Namun, berkat ketelitian petugas dalam proses wawancara paspor, calon korban dapat diidentifikasi dan dicegah sejak dini.
Pemerintah melalui berbagai lembaga, termasuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), juga proaktif menjangkau perlindungan bagi korban. Para tersangka dijerat dengan Pasal 10 Undang-Undang tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda hingga Rp600 juta.















