JAKARTA, 27 Oktober 2025 – Desakan agar obat anestesi kuat, Etomidate, segera dimasukkan ke dalam daftar Narkotika Golongan I atau Golongan II semakin menguat. Dorongan ini datang dari kalangan ahli hukum, kesehatan, dan aparat penegak hukum, yang menilai zat tersebut memiliki potensi penyalahgunaan yang tinggi, namun pengawasannya saat ini masih tergolong lemah.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi (jabatan disesuaikan), mengatakan bahwa kasus penyalahgunaan Etomidate di masyarakat, khususnya yang melibatkan kalangan remaja dan drug abusers (penyalahguna narkoba), telah menjadi alarm serius. “Secara medis dan psikologis, efek Etomidate dapat menimbulkan halusinasi dan euforia yang kuat, mirip dengan narkotika. Namun, karena saat ini hanya terdaftar sebagai obat keras, penanganan hukumnya menjadi kurang maksimal,” ujar Ade Ary, Senin (27/10/2025).
Kelemahan Pengawasan dan Celah Hukum
Ade Ary menjelaskan, posisi Etomidate sebagai obat keras menyebabkan kontrol distribusinya, meski ketat, masih memiliki celah dibandingkan Narkotika Golongan I atau II.
- Aksesibilitas Lebih Mudah: Obat ini lebih mudah didapatkan melalui rantai farmasi ilegal atau melalui praktik penyalahgunaan resep.
- Sanksi Hukum Ringan: Pelaku penyalahgunaan atau pengedar Etomidate ilegal hanya dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, yang ancaman pidananya relatif lebih ringan dibandingkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Jika Etomidate dimasukkan ke dalam daftar Narkotika, maka seluruh proses pengadaan, distribusi, penyimpanan, hingga penyalahgunaannya akan berada di bawah pengawasan ketat Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri, dengan sanksi pidana yang jauh lebih berat,” tegasnya.
Pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, BPOM, dan DPR RI, diminta segera bertindak cepat dengan merevisi lampiran Undang-Undang Narkotika. Ade Ary menekankan bahwa langkah hukum ini merupakan upaya preventif yang fundamental untuk melindungi generasi muda dan masyarakat dari ancaman penyalahgunaan zat berbahaya baru yang terus bermunculan.















