JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam sidang terbaru, seorang ahli hukum pidana menyampaikan pandangan kritis mengenai ketentuan pidana dalam UU tersebut.
Ahli Bidang Hukum Pidana dari [Nama Universitas, misalnya: Universitas Indonesia], Eva Achjani Zulfa, yang dihadirkan oleh Pemohon, menyatakan bahwa kegagalan memahami perkembangan dalam ruang digital dan komunikasi online menjadi pemicu utama kerawanan penyalahgunaan pasal-pasal pidana di UU ITE.
“Ketentuan pidana, seperti pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, menjadi rawan disalahgunakan (kriminalisasi) karena adanya kesenjangan antara batasan hukum dengan praktik kebebasan berekspresi di media sosial,” jelasnya di ruang sidang pleno MK.
Kasus ini disorot publik karena beberapa pemohon, termasuk aktivis lingkungan dan jaksa, merasa hak konstitusional mereka dilanggar setelah dikenai proses hukum berdasarkan UU ITE lama, meskipun sudah ada revisi.
Ahli tersebut menekankan bahwa meskipun revisi UU ITE telah dilakukan, masih ada pekerjaan rumah bagi penegak hukum, terutama dalam menafsirkan mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan pidana) di dunia digital, agar pembatasan yang ada tetap menjaga keseimbangan dengan kebebasan berekspresi.