SEMARANG, 16 Oktober 2025 – Dunia pendidikan di Kota Semarang digegerkan oleh kasus pelecehan berbasis digital yang melibatkan teknologi Artificial Intelligence (AI). Seorang alumnus SMA dilaporkan menggunakan teknologi deepfake untuk mengedit foto-foto pornografi dengan wajah sejumlah siswa dari sekolahnya sebagai korban.
Kasus ini menjadi peringatan keras akan bahaya penyalahgunaan teknologi AI untuk tujuan pornografi non-konsensual (non-consensual pornography) yang menyasar anak di bawah umur.
Penyalahgunaan Deepfake dan Dampaknya
Meskipun pelaku sudah lulus dan perbuatan terjadi di luar ranah sekolah, dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan terhadap para korban sangat besar.
- Modus Deepfake: Pelaku menggunakan perangkat lunak AI generatif untuk menempelkan ( face swap) wajah para korban ke dalam konten cabul, menciptakan ilusi visual seolah-olah korban terlibat dalam aksi pornografi.
- Kejahatan Non-Konsensual: Inti dari kejahatan ini adalah pembuatan konten seksual tanpa persetujuan korban, yang bertujuan merusak nama baik dan kehormatan mereka.
- Keterlibatan Sekolah: Pihak sekolah, meskipun kasus terjadi di luar, didorong untuk memberikan dukungan psikologis dan pendampingan kepada korban dan keluarga untuk mengurangi trauma.
Jeratan Hukum Berlapis
Pihak kepolisian Semarang ditekankan untuk menindak kasus ini dengan jeratan hukum berlapis yang berat, mengingat korban adalah anak di bawah umur dan kasusnya melibatkan penyalahgunaan teknologi informasi:
- Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS): UU TPKS menjadi dasar hukum yang kuat untuk menjerat pelaku, terutama karena kasus ini termasuk dalam kategori kekerasan seksual berbasis elektronik.
- Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE): Pelaku dijerat atas tindak pidana penyebaran informasi elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan (pornografi) dan pencemaran nama baik.
- Undang-Undang Perlindungan Anak: Mengingat korban adalah siswa (sebagian besar di bawah umur), ancaman hukuman pidana untuk pelaku akan ditingkatkan secara signifikan.
Kasus ini menjadi alarm bagi seluruh pihak, terutama orang tua dan guru, untuk meningkatkan literasi digital dan menyadari bahwa teknologi canggih kini menjadi alat utama dalam kasus pelecehan seksual dan bullying di kalangan remaja.