Jakarta, 30 September 2025 – Isu kebebasan berpendapat kembali menjadi perhatian publik, khususnya di era digital yang serba cepat. Perkembangan media sosial sebagai ruang berekspresi ternyata belum sepenuhnya memberikan kenyamanan bagi masyarakat untuk menyampaikan pandangan secara bebas. Hal ini tak lepas dari masih adanya regulasi yang kerap dianggap mengekang, terutama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus yang menimpa warganet, aktivis, hingga jurnalis akibat unggahan di media sosial. Pasal-pasal karet dalam UU ITE, seperti pasal terkait pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga penyebaran informasi yang dianggap meresahkan, kerap digunakan untuk menjerat masyarakat. Situasi ini menimbulkan perdebatan mengenai batas antara kebebasan berpendapat dengan potensi penyalahgunaan ruang digital.
Pakar hukum komunikasi menilai, kebebasan berpendapat sejatinya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hak asasi manusia. Namun, di sisi lain, aturan seperti UU ITE tetap dibutuhkan untuk menjaga agar ruang publik digital tidak dipenuhi dengan ujaran kebencian, fitnah, maupun konten yang mengandung SARA. Persoalan muncul ketika penegakan hukum sering kali dinilai tidak proporsional dan menimbulkan efek jera yang justru membungkam kritik publik.
“Problemnya bukan hanya ada di undang-undangnya, tetapi juga pada implementasi penegakan hukum. Masih ada kecenderungan UU ITE digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik, bukan semata-mata menjaga ketertiban,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga advokasi kebebasan berekspresi juga terus mendorong revisi mendalam terhadap UU ITE. Mereka menilai, revisi sebelumnya belum menyentuh pasal-pasal bermasalah yang rawan multitafsir. Dorongan ini sejalan dengan upaya membangun ekosistem demokrasi digital yang sehat, di mana masyarakat dapat menyampaikan kritik maupun pendapat tanpa takut kriminalisasi.
Di sisi lain, pemerintah menyatakan tetap berkomitmen menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan ketertiban umum. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama aparat penegak hukum disebut akan lebih selektif dalam menindak kasus-kasus yang terkait UU ITE, agar tidak mengurangi ruang demokrasi.
Kasus-kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pentingnya regulasi yang adil, transparan, dan tidak tebang pilih. Publik berharap pemerintah bersama DPR dapat kembali meninjau regulasi yang ada, serta menyiapkan payung hukum yang lebih melindungi kebebasan berpendapat sekaligus menjaga etika di ruang digital.
Dengan semakin kuatnya peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari, perdebatan mengenai kebebasan berekspresi dan UU ITE tampaknya masih akan terus menjadi isu krusial dalam perjalanan demokrasi Indonesia.