Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merespons tuntutan publik dan akademisi mengenai perlunya peninjauan ulang terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya terkait pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat korban pemerasan seksual (sextortion) dan kejahatan berbasis gender online (KBGO).
Pada Rabu (8/10/2025), Juru Bicara Kominfo, Bapak Denny Rachmat, menyatakan bahwa pemerintah siap mendukung revisi terbatas UU ITE untuk menghilangkan kerancuan dalam penafsiran yang selama ini sering merugikan korban.
“Kami menyadari bahwa kasus sextortion, di mana korban diancam akan disebarkan foto atau video intimnya, sering kali berakhir dengan korban itu sendiri yang terjerat pasal penyebaran konten asusila. Ini adalah ketidakadilan hukum yang harus segera kita perbaiki,” ujar Denny.
Fokus Revisi: Definisi dan Perlindungan Korban
Desakan revisi ini bertujuan untuk memperjelas tiga poin utama:
- Definisi Korban Sextortion: Revisi diharapkan memuat klausul yang secara eksplisit membedakan penyebaran konten asusila yang dilakukan oleh korban di bawah ancaman (sebagai tindak pidana murni) dari penyebaran yang dilakukan oleh pelaku dengan motif pemerasan.
- Penghapusan Pasal Karet: Pemerintah berkomitmen untuk meninjau kembali pasal-pasal multitafsir yang sering digunakan untuk menjerat kritik atau hate speech, seperti Pasal 27 ayat (3) (pencemaran nama baik), dan memastikan penerapannya tidak membatasi kebebasan berekspresi.
- Kekerasan Berbasis Gender Online: Adanya penambahan pasal khusus yang mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan digital baru, seperti doxing dan cyber-flashing, sebagai tindak pidana ITE.
Momentum Setelah Kasus Viral
Dorongan untuk revisi ini semakin menguat setelah beberapa kasus sextortion viral di media sosial, di mana proses hukumnya justru fokus pada konten yang disebar alih-alih pada ancaman dan pemerasan yang dialami korban.
Saat ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah memulai tahap pengumpulan masukan dari berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan pakar hukum siber. Diharapkan revisi terbatas ini dapat disahkan sebelum akhir tahun 2025, menjadikan UU ITE sebagai alat perlindungan yang lebih efektif, bukan sebagai instrumen untuk kriminalisasi.