JAKARTA, 16 Oktober 2025 – Para pakar hukum dan praktisi teknologi di Indonesia terus mendesak Pemerintah untuk segera menyusun dan mengesahkan regulasi hukum pidana yang spesifik mengenai Artificial Intelligence (AI). Desakan ini muncul setelah maraknya kasus kejahatan berbasis AI, seperti deepfake pornografi dan modus penipuan canggih, yang menunjukkan adanya celah hukum serius dalam kerangka regulasi saat ini.
Saat ini, penindakan terhadap kasus deepfake masih sangat mengandalkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Namun, para ahli menilai ketentuan-ketentuan tersebut belum cukup eksplisit dan spesifik untuk menghadapi teknologi AI generatif yang terus berevolusi.
Hambatan Penegakan Hukum dalam Kasus AI
Keterbatasan regulasi yang ada menimbulkan hambatan signifikan bagi penegak hukum, terutama dalam kasus deepfake yang melibatkan anonimitas global:
- Kesulitan Deteksi Pembuat Konten: Hambatan terbesar adalah kesulitan mendeteksi pembuat konten AI di ranah siber. Teknologi deepfake sering dibuat menggunakan tool yang tersedia global, dan pelakunya dapat dengan mudah menyembunyikan identitas mereka melalui jaringan anonim.
- Ketidakjelasan Tanggung Jawab: Regulasi yang ada belum jelas mengatur apakah yang bertanggung jawab adalah pembuat konten, penyebar konten, atau bahkan pengembang teknologi AI itu sendiri.
- Unsur Teknologi Baru: UU ITE fokus pada penyebaran ‘informasi elektronik’ yang melanggar, namun belum secara spesifik mencakup unsur manipulasi data personal yang ekstrem (seperti wajah dan suara) yang dilakukan oleh mesin.
Mendesak Pembenahan Aturan
Regulasi AI spesifik yang didesak oleh para pakar harus memuat ketentuan yang:
- Mewajibkan Watermarking: Menetapkan standar wajib bagi pengembang AI untuk menyematkan tanda air (watermark) atau metadata yang tidak terlihat (metadata) pada setiap konten generatif, sehingga konten deepfake dapat diidentifikasi sumber pembuatannya.
- Menetapkan Kategori Pidana Khusus: Menciptakan kategori tindak pidana baru, seperti “Pelanggaran Etika dan Hukum Siber Berbasis AI” yang ancaman hukumannya disesuaikan dengan dampak masif yang ditimbulkan teknologi ini.
- Memperkuat Kerja Sama Internasional: Mengatur mekanisme hukum untuk pertukaran data dan penindakan lintas negara, mengingat kejahatan AI bersifat transnasional.
Tanpa adanya pembenahan aturan yang eksplisit, Indonesia berisiko terus menjadi sasaran empuk bagi kejahatan deepfake dan penipuan berbasis AI, karena penegak hukum akan selalu tertinggal satu langkah dari perkembangan teknologi.