Jakarta, 21 Oktober 2025 – Pemerintah tengah mengkaji revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan fokus utama pada penegasan kategorisasi antara pengguna dan pengedar. Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan kebijakan hukum yang lebih proporsional serta mengurangi kesalahan penjatuhan pidana terhadap pengguna yang bukan bagian dari jaringan peredaran.
Dalam pembahasan internal bersama Kementerian Hukum dan HAM, pemerintah mendorong pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika murni, alih-alih pemidanaan. Salah satu perubahan signifikan yang dipertimbangkan adalah penerapan ambang batas (threshold) barang bukti untuk membedakan kepemilikan penggunaan pribadi dari aktivitas pengedaran.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sjarief Hiariej menekankan bahwa pengguna seharusnya dikenakan tindakan rehabilitasi, bukan hukuman penjara. Revisi ini juga diharapkan dapat mengatasi masalah overcrowding di lembaga pemasyarakatan, mengingat sebagian besar narapidana kasus narkotika adalah pengguna dengan barang bukti kecil.
Rencana revisi juga mencakup penguatan peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang bertugas menentukan apakah seseorang harus direhabilitasi atau diproses secara pidana. Selain itu, pemerintah mempertimbangkan peninjauan ulang terkait hukuman mati dalam kasus narkotika berat melalui kategorisasi yang lebih jelas dan terukur.
Pakar hukum dan organisasi masyarakat sipil turut menyambut baik wacana revisi ini, terutama karena dinilai dapat memberikan kepastian hukum, mengikuti perkembangan jenis narkotika baru, serta menempatkan pengguna sebagai korban yang perlu dipulihkan, bukan dipidana.
Pemerintah berharap perubahan regulasi ini mampu menyeimbangkan antara upaya pemberantasan jaringan peredaran gelap dan pendekatan humanis terhadap pengguna narkotika.















