JAKARTA, 6 November 2025 — Pemerintah Republik Indonesia meningkatkan upaya pemberantasan judi online (judol) ke level yang lebih serius, menargetkan bandar hingga pemain dengan ancaman sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Langkah tegas ini diambil setelah terungkapnya ironi sosial, di mana dana bantuan rakyat dan beasiswa pendidikan ikut tersedot ke aktivitas haram tersebut.
Ancaman TPPU dan Mekanisme Perampasan Aset
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) sekaligus Ketua Komite TPPU, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pemberantasan judol akan digalakkan dengan mengaitkannya pada UU TPPU. Hal ini bertujuan untuk memutus rantai perputaran uang kejahatan.
“Ketika uang hasil judi dimasukkan ke sistem keuangan untuk disamarkan, maka itu sudah termasuk tindak pidana pencucian uang,” ujar Menko Yusril.
Berdasarkan UU TPPU, negara berhak merampas aset, baik milik bandar maupun pemain judol, melalui mekanisme pemeriksaan cepat di pengadilan yang bisa diputus hanya dalam waktu tujuh hari.
Ironi: Dana Rakyat Tersedot Judol
Keseriusan pemerintah didorong oleh temuan mengejutkan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Data PPATK menunjukkan adanya penyalahgunaan dana yang sangat krusial:
- Penyalahgunaan Bansos: Lebih dari 600.000 penerima Bantuan Sosial (Bansos) terindikasi menggunakan dana bantuan tersebut untuk deposit judol. Total deposit dari kelompok ini mencapai Rp542,5 miliar dalam periode semester I 2025.
- Dana Pendidikan: Selain Bansos, dana beasiswa pelajar dan mahasiswa juga ditemukan ikut tersedot untuk modal berjudi.
Transaksi Menurun, Warga Miskin Tetap Dominan
Di sisi lain, kolaborasi antarlembaga seperti PPATK dan Komdigi menunjukkan hasil positif. Hingga Kuartal III 2025, PPATK mencatat adanya penurunan signifikan pada perputaran uang judol:
- Nilai Transaksi: Total transaksi judi online berhasil ditekan sebesar 57%, dari Rp359 triliun pada tahun 2024 menjadi Rp155 triliun pada 2025.
- Deposit: Nilai deposit pemain juga menurun lebih dari 45% menjadi Rp24,9 triliun.
Namun, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyoroti bahwa masalah sosial tetap menjadi pekerjaan rumah utama: 80% pemain judi online masih didominasi oleh masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. Fakta ini menggarisbawahi bahwa judi online telah menjadi ancaman nyata yang menggerogoti ekonomi masyarakat menengah ke bawah.
Pemerintah bertekad untuk terus memperkuat sinergi hukum dan edukasi untuk memberantas praktik judol hingga ke akar-akarnya.















