Sidoarjo – Tragedi ambruknya mushola di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, yang terjadi pada akhir September 2025 dan menelan puluhan korban jiwa santri, kini sepenuhnya beralih ke ranah hukum. Fokus penegakan hukum ini menjadi sorotan publik karena menyangkut keselamatan institusi pendidikan dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Irjen Pol. Nanang Avianto, menegaskan bahwa proses penyelidikan akan dilakukan secara objektif dan transparan. Ia menekankan bahwa status hukum seseorang tidak akan memengaruhi proses penyidikan, sesuai dengan asas persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law).
“Kami tegaskan, setiap orang sama kedudukannya di depan hukum. Siapa pun yang terbukti bertanggung jawab atas ambruknya bangunan ini, baik itu pihak kontraktor, perencana, maupun pihak pengelola, harus patuh hukum,” ujar Kapolda Jatim.
Tahapan Proses dan Dugaan Pidana
- Identifikasi Korban: Pada awal Oktober, proses identifikasi puluhan korban oleh Tim DVI (Disaster Victim Identification) masih berlangsung.
- Pemeriksaan Saksi: Polisi telah memanggil dan memeriksa belasan saksi, termasuk para pengurus pondok, pekerja konstruksi, dan pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaan serta pengawasan pembangunan mushola tiga lantai tersebut.
- Dugaan Kelalaian: Dugaan awal menunjukkan bahwa tragedi ini dipicu oleh kegagalan konstruksi atau kelalaian dalam proses pembangunan. Penyidik tengah mendalami potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Bangunan Gedung.
- Pasal yang Diterapkan: Pihak kepolisian berpotensi menerapkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa (Pasal 359 KUHP), di mana ancaman hukumannya bisa mencapai lima tahun penjara.
Tragedi ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa pembangunan fasilitas umum, termasuk di lingkungan pendidikan, memenuhi standar keselamatan demi mencegah terulangnya kejadian serupa.