Isu perpajakan di Indonesia saat ini didominasi oleh dua hal utama: upaya keras pemerintah untuk melanjutkan reformasi sistem perpajakan secara menyeluruh dan tantangan berat dalam mencapai target penerimaan di tengah perlambatan ekonomi global.
1. Reformasi Perpajakan: Momentum Implementasi Coretax
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadikan tahun 2025 sebagai tahun kunci untuk memodernisasi sistem perpajakan melalui implementasi penuh Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).
- Tujuan Utama: Coretax adalah upaya transformasi kelembagaan yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) dan efektivitas petugas pajak. Sistem baru ini bertujuan untuk mempermudah pelayanan, memperluas basis data, dan meningkatkan pengawasan secara digital.
- Kolaborasi Data: Dalam rangka perluasan basis data Coretax, DJP gencar menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga lain, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk memastikan integrasi data investasi dan kepatuhan perpajakan bagi entitas baru.
- Fokus pada Perlindungan dan Integritas: Seiring dengan reformasi digital, DJP juga berkomitmen memperkuat integritas internal. Hal ini ditunjukkan dengan penindakan tegas terhadap oknum pegawai yang melanggar dan peluncuran Piagam Wajib Pajak, yang dirumuskan bersama dunia usaha, untuk menjamin perlindungan hukum dan keamanan bagi WP.
2. Kinerja Penerimaan: Rasio Pajak Menjadi Sorotan
Meskipun reformasi terus berjalan, realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2025 menghadapi tekanan signifikan, terutama karena gejolak global dan faktor domestik.
- Kontraksi Penerimaan: Di beberapa periode awal tahun 2025, realisasi penerimaan pajak dilaporkan mengalami kontraksi atau pertumbuhan yang melambat. Kontraksi ini dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas global (seperti batu bara dan nikel) yang berdampak pada setoran PPh sektor pertambangan, serta meningkatnya pembayaran restitusi pajak (pengembalian kelebihan bayar PPN).
- Target : Sulit Dicapai: Di tengah tekanan tersebut, target ambisius pemerintah untuk menaikkan Rasio Pajak Indonesia menuju PDB semakin berat. Para ekonom menilai masalah utama perpajakan Indonesia bukan pada tingginya tarif, melainkan pada lemahnya basis pajak dan tingginya tax gap (kesenjangan antara potensi dan realisasi pajak).
- Kebijakan Pro-Ekonomi: Untuk menjaga momentum ekonomi, pemerintah menegaskan tidak akan menaikkan tarif pajak tahun depan. Fokus pemerintah adalah memberikan insentif perpajakan (seperti PPN DTP perumahan) untuk menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat.
3. Penindakan dan Tantangan Kepatuhan
Penegakan hukum di bidang perpajakan juga semakin intensif, terutama menyasar pelanggaran yang merugikan negara dalam jumlah besar.
- Faktur Pajak Fiktif: Kasus tindak pidana perpajakan dengan modus penggunaan faktur pajak fiktif (Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya/TBTS) terus diproses. Penindakan ini memberikan efek jera, seperti vonis denda dan pidana penjara bagi penerbit maupun pengguna faktur TBTS.
- Pengejaran Penunggak Pajak: DJP gencar mengejar utang pajak dari penunggak besar, bahkan melalui penyitaan aset. Beberapa kasus di wilayah seperti Sumatera Utara menunjukkan keberhasilan penyitaan aset hingga miliaran rupiah.
Secara keseluruhan, sistem perpajakan Indonesia berada di titik persimpangan antara modernisasi digital (Coretax) dan tantangan ekonomi riil. Kesuksesan di masa depan sangat bergantung pada kemampuan DJP dalam menyeimbangkan antara pelayanan yang mudah, penegakan yang tegas, dan penguatan basis pajak yang lebih adil.