Jakarta – Saat ini, sektor fintech dan aset digital di Indonesia menunjukkan dinamika yang kuat, didukung oleh regulasi yang semakin matang dan adopsi teknologi yang masif.
1. Dominasi Aset Kripto dan Perkembangan Regulasi
- Peralihan Pengawasan ke OJK: Per 10 Januari 2025, pengawasan dan pengaturan aset keuangan digital, termasuk aset kripto, secara resmi beralih dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sesuai dengan UU P2SK. Perubahan ini menempatkan aset kripto sebagai bagian dari aset keuangan digital, bukan lagi sekadar komoditas.
- Insentif Pajak Kripto: Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 per 1 Agustus 2025. Aturan ini menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi kripto domestik melalui penyelenggara resmi, menyamakan posisinya dengan surat berharga atau produk keuangan lainnya. Namun, transaksi tersebut tetap dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif yang disesuaikan (misalnya, 0,21% untuk transaksi melalui PPMSE dalam negeri).
- Adopsi yang Terus Tumbuh: Jumlah konsumen aset kripto di Indonesia telah mencapai 18,08 juta orang per Agustus 2025, dengan total nilai transaksi year-to-date (YTD) mencapai Rp360,30 triliun hingga akhir September 2025. Perkembangan ini menegaskan bahwa kripto telah menjadi bagian integral dari arsitektur ekonomi digital nasional.
- Stablecoin dan Aset Unggulan: Tren investasi kripto menunjukkan minat yang tinggi pada aset utama seperti Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) sebagai aset mapan, serta koin-koin yang fokus pada skalabilitas dan biaya rendah seperti Solana (SOL), BNB, dan Polygon (MATIC). Selain itu, Stablecoin juga muncul sebagai tren baru dalam dunia keuangan.
2. Digital Banking dan Super App sebagai Tulang Punggung Transaksi
- Super App Perbankan: Bank-bank konvensional dan bank digital terus bertransformasi dengan meluncurkan atau memperkuat aplikasi Super App mereka (contohnya BYOND by BSI atau SuperApp BTN Mobile). Aplikasi ini mengintegrasikan berbagai layanan keuangan (tabungan, pinjaman, investasi) dan non-keuangan, menciptakan ekosistem yang komprehensif untuk nasabah.
- Dominasi QRIS: QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) telah menjadi tulang punggung sistem pembayaran digital. Transaksi QRIS mencatat pertumbuhan yang masif, mencapai 162% year-on-year (YoY) pada Juli 2025, didukung oleh adopsi lebih dari 50 juta merchant, yang didominasi oleh UMKM. Ekspansi QRIS juga semakin luas dengan koneksi lintas negara, hingga Agustus 2025 telah terhubung dengan 9 negara.
- Inovasi Investasi yang Lebih Likuid: Ada tren kolaborasi antara fintech dengan manajer investasi, salah satunya terlihat dari peluncuran produk Reksa Dana Pasar Uang dengan fitur pencairan T+0 yang menyasar pengguna e-wallet atau dompet digital, menawarkan likuiditas yang lebih tinggi dibandingkan reksa dana konvensional.
3. Tantangan dan Peluang Inklusi Keuangan
- Kesenjangan Sektor Nonbank: Survei OJK 2025 menunjukkan bahwa sektor nonbank, termasuk fintech dan pasar modal, masih memiliki tingkat literasi dan inklusi yang jauh lebih rendah dibandingkan perbankan. Misalnya, indeks inklusi fintech (P2P Lending, dsb.) berada di 12,79%, sedangkan perbankan mencapai 83,04%.
- Pentingnya Edukasi dan Kepercayaan: Tantangan utama yang harus diatasi adalah kurangnya edukasi, kurangnya kepercayaan masyarakat akibat kasus penipuan, dan belum meratanya akses di luar kota besar.
- Kolaborasi dan Pengawasan: Regulasi baru seperti POJK Nomor 3 Tahun 2024 yang mengatur Innovative Technology Sector Keuangan (ITSK) memperkuat kerangka kerja regulatory sandbox dan pengawasan OJK, mendorong kolaborasi antara fintech dengan Lembaga Jasa Keuangan (LJK), serta memberikan kejelasan pada model bisnis inovatif seperti Innovative Credit Scoring.
Secara keseluruhan, sektor fintech investasi di Indonesia sedang berada pada fase akselerasi digital yang didorong oleh super app, maturitas regulasi aset kripto di bawah OJK, dan inovasi produk likuiditas tinggi, meskipun masih harus bekerja keras untuk menutup kesenjangan literasi dan inklusi keuangan.














