JAKARTA, 27 Oktober 2025 – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mencatatkan keberhasilan besar dalam memerangi kejahatan siber. Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri berhasil mengungkap dan membongkar jaringan terorganisir yang memproduksi serta mengedarkan konten pornografi anak secara masif melalui platform media sosial tertutup dan aplikasi perpesanan terenkripsi.
Kepala Divisi Humas Polri, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi (jabatan disesuaikan), mengatakan bahwa kasus ini merupakan jaringan internasional yang sangat tertutup, menjadikannya tantangan besar bagi penyidik. “Kami telah menangkap enam tersangka utama yang berperan sebagai produsen konten, pengelola jaringan, dan distributor. Modus mereka sangat keji, yakni mengeksploitasi anak-anak di bawah umur dan kemudian menjual konten tersebut melalui grup media sosial berbayar,” ujar Ade Ary, Senin (27/10/2025).
Modus Operandi Jaringan Tertutup
Ade Ary menjelaskan, jaringan ini beroperasi dengan sangat hati-hati untuk menghindari deteksi. Mereka menggunakan skema piramida dalam peredaran konten, meliputi:
- Produksi: Tersangka utama merekrut korban anak melalui janji palsu atau intimidasi, lalu memaksa mereka membuat konten pornografi.
- Jaringan Distribusi Tertutup: Konten tidak diedarkan di media sosial terbuka, melainkan melalui grup privat berbayar di aplikasi seperti Telegram atau dark web. Anggota grup harus membayar biaya berlangganan (subscription) yang mahal.
- Transparansi Keuangan: Transaksi pembayaran dilakukan menggunakan mata uang kripto atau transfer bank dengan rekening dropship untuk menyamarkan jejak.
“Kami menyita puluhan hard disk dan server mini yang berisi data ratusan gigabita konten pornografi anak. Kami menduga jumlah korban yang dieksploitasi dalam jaringan ini mencapai ratusan orang,” tegasnya.
Pasal Berlapis dan Komitmen Perlindungan Korban
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk:
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), mengingat adanya unsur eksploitasi dan penjualan.
Polri berkomitmen untuk tidak hanya menindak tegas pelaku, tetapi juga berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta psikolog forensik untuk merehabilitasi korban dan memastikan identitas mereka terlindungi sepenuhnya. Penindakan ini merupakan bagian dari upaya Polri untuk menciptakan ruang digital yang aman bagi anak-anak Indonesia.















