Sydney, Australia, 10 November 2025 – Di tengah upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, suara penolakan keras datang dari luar negeri. Mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney, Australia, menggelar aksi damai untuk menyatakan keberatan mereka atas penetapan Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Aksi yang diprakarsai oleh kelompok yang menamakan diri Aliansi Gusar (Gerakan Usut Tuntas) ini menyuarakan bahwa pemberian gelar tersebut sama saja dengan “menghapus penderitaan korban” dan “memutarbalikkan ingatan kolektif bangsa.”
Argumen Utama Penolakan: Pelanggaran HAM dan Otoritarianisme
Penolakan dari kelompok diaspora dan mahasiswa di Sydney ini didasarkan pada argumentasi hukum dan sejarah yang kuat, sejalan dengan desakan dari masyarakat sipil di dalam negeri.
- Pelanggaran HAM Berat Tak Terselesaikan: Perwakilan Aliansi Gusar, Slamet Thohari (yang kini menempuh studi doktoral di Western Sydney University), menyebut bahwa masa Orde Baru di bawah Soeharto diwarnai serangkaian peristiwa kelam yang menimbulkan luka mendalam, termasuk Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, serta pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Korban dan keluarga mereka hingga kini belum mendapatkan keadilan.
- Pemerintahan Otoriter: Soeharto dinilai tidak layak menyandang gelar pahlawan karena menjalankan pemerintahan yang otoriter, membungkam demokrasi, dan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan etika.
- Kasus KKN Sistematis: Pengangkatan Soeharto dianggap mengabaikan fakta adanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela dan merusak moral birokrasi selama 32 tahun masa kekuasaannya.
Pernyataan Slamet Thohari: “Bagaimana seorang yang dilengserkan karena desakan reformasi dan terbukti bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM berat kemudian diangkat jadi pahlawan? Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan mengikis nilai kemanusiaan dan merusak kepercayaan antarwarga negara,” tegasnya.
Suara Diaspora: Kepahlawanan Bukan Bius Amnesia
Aksi di Sydney ini menambah panjang daftar penolakan yang telah disuarakan oleh berbagai tokoh, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, termasuk Jaringan GUSDURian dan ICW. Kelompok diaspora berpendapat bahwa kepahlawanan harus menjadi kompas moral bangsa, bukan alat untuk membius amnnesia sejarah.
Meskipun penolakan terus bermunculan, keluarga Soeharto, diwakili oleh putrinya, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana (Tutut Soeharto), menyatakan bahwa mereka tidak merasa dendam atau kecewa terhadap pihak yang kontra. Tutut Soeharto berharap semua pihak tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.















