JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dalam proses pembahasan kembali menjadi sorotan. Seorang peneliti hukum terkemuka menekankan pentingnya masyarakat untuk tidak salah mempersepsikan RUU tersebut sebagai upaya pemerintah untuk membatasi hak-hak konstitusional warga negara.
Pandangan ini disampaikan oleh seorang peneliti senior dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Senin, 24 November 2025. Ia menilai bahwa beberapa poin kontroversial dalam RUU KUHAP justru ditujukan untuk memperkuat sistem peradilan yang lebih modern dan adil.
“Terdapat persepsi di publik bahwa RUU KUHAP akan membatasi kebebasan sipil, padahal semangat utamanya adalah menyeimbangkan antara kepentingan negara dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia tersangka atau terdakwa,” ujar peneliti tersebut.
Fokus Perbaikan dalam RUU KUHAP
Peneliti tersebut menyoroti bahwa RUU KUHAP berusaha melakukan beberapa pembaruan fundamental yang krusial:
-
Penerapan Keadilan Restoratif: Memperluas mekanisme penyelesaian kasus di luar pengadilan untuk kasus-kasus ringan.
-
Penguatan Hak Tersangka: Memperjelas hak didampingi penasihat hukum sejak tahap awal pemeriksaan.
-
Waktu Penahanan: Memperjelas dan memperketat batasan waktu penahanan agar lebih sesuai dengan standar HAM.
Peneliti mengimbau Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk lebih transparan dan komunikatif dalam mensosialisasikan RUU ini. Komunikasi yang efektif diperlukan untuk menghilangkan kekhawatiran publik dan memastikan bahwa RUU KUHAP yang baru benar-benar mencerminkan prinsip due process of law.















