SEMARANG, 22 OKTOBER 2025 – Komunitas siswa dan pihak SMAN 11 Semarang (“Samanse”) menyatakan keresahan mendalam dan menuntut keadilan serta penegakan hukum tegas terkait beredarnya video deepfake yang mencatut nama dan identitas sekolah mereka. Video berkonten pornografi atau asusila yang dibuat menggunakan teknologi deepfake ini telah merusak reputasi institusi dan mencoreng nama baik sejumlah siswi.
Desakan agar kasus ini diproses menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bertujuan untuk menindak penyebar dan pembuat konten deepfake tersebut demi memulihkan nama baik korban dan mencegah terulangnya kejahatan serupa.
Tuntutan Hukum dan Keresahan Siswa
- Pelanggaran UU ITE: Pihak sekolah dan korban mendesak polisi menjerat pelaku dengan pasal-pasal dalam UU ITE, khususnya yang berkaitan dengan:
- Penyebaran Konten Asusila (Pasal 27 Ayat 1 UU ITE).
- Pencemaran Nama Baik (Pasal 27 Ayat 3 UU ITE) karena video tersebut merusak reputasi.
- Dampak Psikologis: Keresahan utama siswa dan siswi adalah dampak psikologis serius yang ditimbulkan oleh penyebaran video tersebut, termasuk intimidasi, penghakiman sosial (social judgment), dan kekhawatiran terhadap masa depan.
- Memutus Rantai Penyebaran: Proses hukum yang tegas diharapkan dapat memberikan efek jera dan memutus rantai penyebaran video tersebut di media sosial dan aplikasi pesan singkat.
Ancaman Deepfake Berkonten Asusila
Deepfake adalah ancaman kejahatan siber yang sangat serius. Apa sebenarnya deepfake, dan mengapa kasus ini sering menggunakan dasar hukum UU ITE?
- Definisi Deepfake: Merupakan teknologi sintesis gambar dan suara berbasis kecerdasan buatan (AI) yang digunakan untuk memanipulasi atau mengganti wajah seseorang dalam video atau gambar agar terlihat sangat meyakinkan.
- Kasus Asusila: Dalam kasus deepfake ‘Samanse’, teknologi ini diduga digunakan untuk menempelkan wajah siswi atau individu terkait ke dalam video asusila, menciptakan konten yang palsu namun terlihat nyata (non-consensual deepfake porn).
- Dasar Hukum UU ITE: Di Indonesia, kejahatan ini dijerat dengan UU ITE karena tindakan penyebaran konten asusila dan manipulatif dilakukan melalui media elektronik dan internet. Pelaku tidak hanya dapat dipidana karena membuat konten, tetapi juga karena mendistribusikan dan/atau mentransmisikannya.
Kasus ini menjadi salah satu contoh penting bahwa penegakan hukum harus beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital untuk melindungi korban dari manipulasi berbasis AI.














