JAKARTA, 6 NOVEMBER 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa praktik pemerasan yang dilakukan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) terhadap para pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau dilandasi oleh sebuah arahan khusus yang bersifat intimidatif.
Arahan ini adalah perintah dari Abdul Wahid kepada para bawahannya agar “Tegak Lurus pada Satu Matahari”, di mana “Satu Matahari” yang dimaksud merujuk pada dirinya sendiri sebagai Gubernur.
Berikut adalah detail mengenai konteks dan implikasi dari arahan tersebut:
🌞 Makna di Balik “Satu Matahari”
- Komando Tunggal: Frasa “Tegak Lurus pada Satu Matahari” diartikan sebagai perintah agar seluruh pejabat, khususnya di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau, harus patuh dan tunduk sepenuhnya pada segala perintah dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Abdul Wahid.
- Awal Penekanan: KPK menduga, arahan ini disampaikan Abdul Wahid sejak awal ia menjabat untuk memastikan adanya satu komando dalam menjalankan program pemerintah daerah, termasuk yang berkaitan dengan anggaran.
💰 Keterkaitan dengan Pemerasan (Jatah Preman)
Arahan untuk “Tegak Lurus” ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk menekan para pejabat agar menyetorkan fee yang diminta.
- Permintaan Fee: Gubernur Abdul Wahid meminta fee atau yang dikenal sebagai “Jatah Preman” sebesar 5 persen (sekitar Rp7 Miliar) dari kenaikan anggaran UPT Jalan dan Jembatan di Dinas PUPR PKPP Riau.
- Ancaman dan Mutasi: Bagi pejabat yang tidak “Tegak Lurus” atau menolak untuk menyetor fee yang diminta, Abdul Wahid, melalui representasinya, mengancam untuk mencopot atau memutasi mereka dari jabatannya. Ancaman ini menjadi alat paksa agar pejabat mematuhi arahan fee tersebut.
Dengan adanya ancaman pencopotan dan perintah “Tegak Lurus pada Satu Matahari” ini, para pejabat bawahan merasa tidak memiliki pilihan selain memenuhi permintaan uang tersebut, bahkan ada yang terpaksa berutang atau menggadaikan aset pribadi.
KPK menegaskan bahwa perintah ini merupakan bagian dari modus operandi pemerasan yang bersifat vertikal, di mana kekuasaan jabatan digunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi.















