Samarinda – Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Samarinda telah mencapai babak baru. Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda telah menetapkan lima tersangka yang diduga terlibat dalam pembobolan dana BPR melalui modus kredit fiktif bernilai miliaran rupiah.
Kepala Kejari Samarinda, Firdaus, mengungkapkan bahwa modus operandi yang digunakan para tersangka sangat terstruktur, melibatkan oknum internal bank dan pihak luar.
Kredit Fiktif untuk Proyek Fiktif
Modus utamanya adalah pengajuan dan pencairan kredit yang sebenarnya tidak memiliki dasar atau proyek yang riil, atau yang biasa disebut kredit fiktif.
-
Penyalahgunaan Wewenang Internal: Beberapa oknum di BPR Samarinda diduga kuat menyalahgunakan wewenang mereka dengan memproses pengajuan kredit yang tidak memenuhi syarat dan kelayakan (tanpa agunan yang memadai atau dengan data palsu).
-
Pencairan Dana: Dana miliaran rupiah dicairkan untuk seolah-olah membiayai proyek atau kegiatan usaha, padahal dana tersebut langsung dialirkan untuk kepentingan pribadi para tersangka.
-
Total Kerugian: Meskipun nominal pastinya masih dalam perhitungan final, kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Identitas Lima Tersangka
Lima tersangka yang telah ditetapkan oleh Kejari Samarinda terdiri dari karyawan dan pejabat BPR, serta pihak swasta yang berperan sebagai debitur fiktif:
-
M. A. R. L (Pimpinan BPR Cabang)
-
I. T. (Staf Kredit BPR)
-
A. R. (Debitur Fiktif)
-
H. (Debitur Fiktif)
-
A. H. (Debitur Fiktif)
Tersangka M.A.R.L. dan I.T. diduga berperan sebagai otak yang memfasilitasi dan memuluskan proses pencairan kredit fiktif dari sisi internal BPR.
Proses Hukum Berlanjut
Setelah penetapan tersangka, Kejari Samarinda kini tengah mempercepat proses pemberkasan untuk segera melimpahkan kasus ini ke tahap penuntutan dan persidangan di Pengadilan Tipikor. Para tersangka disangkakan melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Kejari Samarinda menegaskan komitmennya untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat dalam kasus ini demi mengembalikan kerugian negara dan memastikan akuntabilitas dalam pengelolaan aset daerah.















